Ekowisata Seru di Desa Sade: Petualangan Budaya yang Bikin Betah

Saya selalu percaya kalau cara terbaik menikmati Lombok bukan cuma dari pantainya, tapi juga dari desa-desa adatnya. Salah satu tempat yang bikin saya jatuh cinta adalah Desa Sade di Lombok Tengah. Awalnya saya pikir tempat ini bakal jadi “destinasi wisata biasa”—foto-foto, lihat rumah adat, lalu pulang. Tapi ternyata, pengalaman ekowisata di sini jauh lebih dari itu.

Desa Sade bukan sekadar spot wisata. Ia adalah tempat di mana tradisi dan kehidupan sehari-hari menyatu dengan cara yang sangat alami. Dan bagi saya, inilah bagian dari Lombok yang sering luput dari perhatian, tapi justru paling menyentuh.

Perjalanan Menuju Desa Adat yang Masih Hidup

Perjalanan saya ke Desa Sade dimulai dari Mataram. Saya ikut program tur harian bersama lokal guide yang juga orang Sasak asli. Di sepanjang jalan, dia banyak cerita soal budaya, soal arti di balik tenunan, bahkan soal cara orang tua mereka dulu merawat rumah menggunakan tanah liat yang dicampur kotoran kerbau. Kedengarannya aneh, tapi nanti dulu—begitu sampai di desa, saya justru kagum karena semua itu masuk akal dan terasa sangat autentik.

Begitu mobil berhenti di gerbang desa, saya langsung melihat rumah-rumah beratap alang-alang berdiri rapi, saling berdekatan. Anak-anak berlarian sambil tertawa, ibu-ibu menenun, dan para tetua duduk santai di bale-bale depan rumah. Mereka tidak sedang “berakting” untuk wisatawan. Mereka memang sedang hidup.

Interaksi yang Bukan Basa-Basi

Salah satu hal yang saya suka dari pengalaman di Desa Sade adalah bagaimana para warga menyambut tamu. Bukan sambutan yang dibuat-buat atau terlalu formal. Mereka hangat tapi tetap sederhana. Seorang bapak bernama Pak Juma mengajak saya duduk di bale-bale dan mulai bercerita soal sejarah kampungnya. Tanpa diminta, tanpa dibayar. Katanya, dia cuma senang kalau orang luar tahu bagaimana kehidupan mereka yang sederhana tapi punya makna.

Kami bicara soal banyak hal—dari pernikahan adat, cara menenun yang harus dikuasai sejak kecil, sampai filosofi kenapa rumah-rumah di sini tak punya jendela. Menurutnya, rumah tanpa jendela menjaga kehangatan keluarga, biar semua lebih dekat dan tidak sibuk melihat dunia luar terus. Dalam hati saya, itu filosofis banget dan cocok juga untuk kehidupan kita yang sekarang serba digital.

Belajar Menenun dan Takjub Sendiri

Salah satu pengalaman paling membekas buat saya adalah saat ikut mencoba menenun. Saya dibimbing oleh ibu-ibu yang sudah ahli sejak remaja. Awalnya saya pikir bakal mudah—tinggal gesek-gesek benang. Tapi kenyataannya butuh ritme, kesabaran, dan konsentrasi tinggi. Mereka bilang, menenun bukan sekadar keterampilan, tapi bentuk meditasi.

Saya juga belajar bahwa motif tenunan tidak asal pilih. Setiap corak punya arti—ada yang melambangkan air, ada yang tentang kesuburan, dan ada juga yang digunakan khusus saat upacara adat tertentu. Rasanya seperti membaca buku sejarah, tapi lewat benang dan warna.

Desa Sade Bukan Museum, Tapi Ruang Hidup

Salah satu hal yang bikin saya benar-benar menghargai tempat ini adalah kesadaran bahwa Desa Sade bukan dibuat untuk turis. Tempat ini sudah ada jauh sebelum pariwisata ramai, dan sampai sekarang tetap jadi tempat tinggal warga asli. Itu kenapa semuanya terasa sangat natural.

Kamu bisa melihat anak-anak main bola di lorong kecil, sapi digiring sore-sore, dan nenek-nenek yang asyik merajut sambil ngobrol ringan. Saya jalan kaki menyusuri lorong sempit, dan rasanya seperti mundur ke masa lalu, tapi tanpa kehilangan kehangatan.

Kalau kamu suka eksplorasi yang lebih dari sekadar foto Instagram, ini tempat yang wajib dikunjungi. Dan kamu bisa cek program lengkapnya lewat paket trip Lombok yang menyertakan kunjungan ke Desa Sade sebagai bagian dari perjalanan budaya dan alam.

Suasana Sore yang Syahdu

Saya sempat tinggal agak lama di Desa Sade, hingga menjelang sore. Cahaya matahari mulai turun, memantul indah di atap-atap alang-alang. Suara azan berkumandang dari kejauhan, bercampur suara ayam dan tawa anak-anak. Suasananya damai, tidak terburu-buru, dan membuat saya berpikir: “Kapan terakhir kali saya merasa se-tenang ini?”

Saya dan pemandu duduk di pinggir bale, makan singkong goreng dan minum teh panas. Rasanya sederhana, tapi benar-benar nikmat. Ini bukan soal makanan, tapi suasana yang menyertainya.

Ekowisata yang Penuh Makna

Berbeda dari wisata biasa, ekowisata seperti ini memberikan kita pelajaran tentang bagaimana hidup bisa sangat dekat dengan alam dan budaya. Saya jadi sadar bahwa yang paling berkesan dari sebuah perjalanan bukan tempat-tempat megah atau populer, tapi momen kecil yang terjadi di tempat-tempat seperti ini.

Desa Sade bukan hanya tentang rumah tradisional atau tenun Sasak. Ia adalah tentang nilai-nilai hidup yang terus dijaga, tentang kebersamaan, tentang kesederhanaan yang kaya makna.

Kalau kamu punya kesempatan ke Lombok, jangan cuma ke pantai atau gili. Luangkan satu hari untuk menyentuh akar budaya pulau ini. Percayalah, pulang-pulang kamu nggak cuma bawa oleh-oleh, tapi juga perspektif baru soal hidup.